Senin, 23 Oktober 2017

Oleh: Muharrahman
*****

Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian amanat undang-undang perkawinan yang ada di Indonesia. Harapannya suatu pernikahan yang dilangsungkan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Namun demikian, banyak kasus pernikahan tidak sesuai harapan. Berkaitan dengan kasus pernikahan sekarang masyarakat dihebohkan dengan berkembangnya kasus pernikahan sirri perawan yang bisa dibilang sedikit maju. Pernikahan sirri yang dilakoni berbasis online, siapa saja yang ingin menikah sirri bisa singgah di laman website yang telah ditentukan. Tidak hanya sampai di situ, semua perempuan yang hendak nikah sirri tersebut harus perawan, begitu juga lelaki yang hendak nikah sirri tersebut haruslah pejaka. Perawannya perempuan atau pejakanya lelaki harus dibuktikan. Untuk membuktikannya perawan wajib menyertakan surat kedokteran dan lelaki harus melakukan sumpah pocong. Demikianlah yang terjadi dan menjadi viral di medsos sehingga menghebohkan publik. Kasus ini berujung pada pihak yang berwajib.

Bila melirik ke belakang, berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Syiah Kuala yang pernah dipublikasi di media tahun 2016 lalu menyebutkan bahwa terdapat 4.801 kasus permohonan perceraian yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyyah di seluruh Aceh. Pada tahun 2015 angka bertambah menjadi 5.300 kasus. Di hasil penelitian lainnya disebutkan bahwa pada tahun 2016 Mahkamah Syar’iyyah Aceh telah menerima 5.191 laporan perkara perceraian. Ini adalah angka yang pantastis yang apabila kita kaji akan ditemui banyak polemik di dalamnya. Bahkan yang juga menarik untuk dikaji dan dipahami adalah dari semua kasus perceraian tersebut dinyatakan bahwa cerai gugat lebih dominan. Artinya perempuan lebih banyak yang menggugat cerai suaminya dibanding suami yang meminta cerai. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, perceraian yang paling tinggi terjadi bukan saja karena faktor ekonomi atau pun Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Akan tetapi perceraian itu lebih dipicu oleh faktor perselingkuhan.

Kemudian apabila diperhatikan kasus perceraian yang dipublikasi pada laman resmi Mahkamah Syar’iyyah Kota Banda Aceh untuk tahun 2017 hingga periode Agustus, tercatat 188 kasus perceraian dari total kasus yang masuk sebanyak 384 kasus. Ini berarti 49% kasus yang masuk adalah kasus perceraian. Yang menarik untuk diketahui lagi adalah 128 kasus tersebut adalah cerai gugat, sedangkan cerai talak hanya 60 kasus.

Tentunya dari berbagai macam kasus yang terjadi ada problematika yang terjadi dalam banyak keluarga selama ini. Tentunya semua orang tidak ingin itu terjadi, karena perpisahan suami dengan istri akan berdampak negatif. Tidak hanya pada pasangan itu sendiri, akan tetapi pada anak yang lahir dari pasangan tersebut juga sangat berdampak. Agar suatu pernikahan yang dilaksanakan bisa langgeng dan harmonis tentunya ada beberapa hal yang harus dipahami bersama. Dan sebelumnya yang juga harus dipahami bahwa pernikahan itu laksana mendayung sampan di tengah lautan. Perjalanan yang dilalui tentu tidak berjalan mulus, ada arang dan rintangan yang terus menghadapi perjalanan itu. Ada ombak dan badai yang terus menerjangnya. Untuk itu perlu dipersiapkan dan memahami segala hal yang berkaitan dengan rambu-rambu rumah tangga agar kelak setiap pasangan bisa memaknai sebuah pernikahan tersebut.

Pertama; Nikah itu Ibadah

Nikah itu ibadah, maka dilakukan dengan niat yang baik. Bahkan dalam Islam disebutkan bahwa pernikahan itu setengah dari agama. Maka beruntunglah bagi siapa saja yang menikah dengan niat karena Allah dan sunnah Rasulnya. Perjanjian pernikahan itu kuat, mitsaqan ghalidhan, akad yang sangat kuat. Tidak hanya dipersaksikan manusia, akan tetapi juga Malaikat. Akad yang dilangsungkan adalah muabbadan, untuk selama-lamanya. Walaupun pernikahan itu boleh bercerai, namun bila dipahami pada ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan menemui bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya ada prinsip dimana perceraian itu harus diperketat. Jadi setiap orang yang menikah harus memaknai sebagai ibadah kepada Rabbnya agar perjalanan pernikahan kita kekal untuk selama-lamanya.

Kedua; Tujuannya Membentuk Keluarga Harmonis

Islam menjabarkan panjang lebar tetang tujuan dari suatu perkawinan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjabarkannya. Dari sekian banyaknya tujuan tersebut, menjadi keluarga harmonis adalah salah satunya. Perkawinan itu agar pasangan suami istri bisa tenteram, nyaman, saling berkasih sayang diantara kedua pasangan, bukan satu pasangan. Perkawinan dijadikan agar antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) saling mencintai. Al-Quran juga memberi permisalan antara suami dan istri itu bagaikan pakaian. Istri adalah pakaian bagi suami dan sebaliknya suami adalah pakaian bagi istri. Sehingga harus saling menjaga agar pakaian itu tetap rapi, lembut, cantik dan indah di pandangan mata antara keduanya. Bagi suami jadikan istri itu perempuan yang paling cantik sedunia, dan sebaliknya suami itu lelaki paling ganteng sedunia. Bahkan dalam sebuah hadits nabi dalam riwayat Imam Tirmizi disebutkan; “Jika engkau (suami) melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu.”

Ketiga; Ada Kewajiban dan Hak

Kita sering mendengar dalam lingkungan sehari-hari ada banyaknya orang yang menuntut hak. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah melaksanakan kewajiban? Suatu hak akan ada bilamana kewajiban dilaksanakan. Begitu pula dalam berkeluarga, bahwa kewajiban dan hak itu dituntut dan dinikmati secara bersama, saling melengkapi antara pasangan suami istri itu sendiri. Ketika suami melaksanakan kewajiban, maka dengan otomatis sang istri mendapatkan haknya. Sebaliknya bilamana istri melaksanakan kewajibannya, maka dengan otomatis sang suami mendapatkan haknya. Jadi dahulukan kewajiban baru masing-masing pasangan mendapatkan haknya. Tidak sebaliknya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Inilah yang seharusnya dipahami oleh setiap yang melangsungkan pernikahan sehingga bisa memaknai sebuah pernikahan itu seperti yang disunnahkan.

Keempat; Harus Dicatat

Setiap pernikahan yang dilangsungkan wajiblah dicatatkan pada pencatat yang sudah diberi wewenang oleh negara. Di mayoritas negara muslim mewajibkan agar setiap peristiwa pernikahan dicatat. Hal ini sebagai upaya melindungi pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan, terutama bagi perempuan. Pencatatan ini juga sangat dibutuhkan untuk keturunan yang lahir dari pasangan yang melangsungkan pernikahan. Apabila suatu pernikahan tidak dicatatkan, maka anak yang lahir tidak bisa membuat akte kelahirnya. Jika pun bisa maka nasabnya kepada ibunya. Bukankah nasab itu kepada ayahnya? Bagaimana nantinya apabila sang anak mengetahui nasabnya tidak kepada ayahnya? Ini akan menimbulkan psikis negatif terhadap perkembangan anak dan ini harus menjadi perhatian setiap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.



0 komentar:

Posting Komentar