Senin, 23 Oktober 2017

Oleh: Muharrahman
*****

Nikah Sirri adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Model nikah ini terbagi dua bahagian, pertama nikah yang memenuhi rukun dan syarat secara agama namun tidak dicatatkan di lembaga yang berwenang. Nikah seperti ini sering juga disebut nikah di bawah tangan. Adapun model kedua adalah nikah yang dilaksanakan tanpa memenuhi rukun atau syaratnya. Seperti nikah yang tidak adanya wali atau saksi serta tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang, yaitu KUA.Untuk model yang kedua ini sudah jelas statusnya, tanpa wali dan saksi maka dianggap batal. Namun model yang pertama akan merusak tatanan hukum dan sosial masyarakat.

Kita bertanya kenapa pernikahan sirri ini terus saja terjadi? Padahal di negara kita yang luas ini telah diatur sedemikian rupa tata cara pernikahan yang sah menurut agama dan negara. Negara sudah menfasilitasinya dengan dibuatnya prosedur dan tata cara bagi orang yang hendak menikah. Bahkan dengan biaya yang tidak banyak, alias free.Yang mengejutkan lagi Nikah Sirri menjadi bisnis oleh oknum-oknum tertentu dengan model lelang keperawanan.

Ada banyak hal persoalan yang membuat seseorang menikah sirri. Namun yang paling mendasar adalah adanya dualisme pemahaman yang dipahami oleh masyarakat. Tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga para cendekia dan ulama. Pertama ada yang menganggap bahwa nikah sirri atau nikah yang tidak dicatat pada lembaga yang berwenang adalah sah. Ini adalah pemahaman yang dipahami secara klasik. Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini merujuk kepada fatwa atau hukum yang ditetapkan oleh ulama terdahulu.

Ada banyak referece klasik yang mengulas tentang persyaratan yang wajib dipenuhi bagi orang yang hendak melaksanakan nikah, namun pencatatan pernikahan tidak pernah dimasukkan sebagai hal yang harus dipenuhi. Inilah yang banyak dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Kedua adalah adalah pendapat yang menyatakan bahwa nikah sirri itu tidak sah. Tidak diakui oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia. Bahkan mayoritas negara muslim yang ada di dunia juga sudah menganggap bahwa pernikahan sirri ini tidak sah. Pendapat ini adalah yang banyak dianut oleh para pakar hukum islam dan ulama kontemporer. Dalam banyak kitab yang keluar diabad sekarang hampir semua menyatakan pernikahan sirri itu tidak sah.

Dari dualisme pemahaman tersebut, masyarakat muslim yang berlandaskan klasik masih menganggap nikah sirri itu sah. Mereka biasanya beranggapan yang penting secara agama sah. Jika secara undang-undang tidak sah mereka tidak mempersoalkan. Pendapat ini dianggap sebagai sebab yang sangat berpengaruh dan membuat jumlah pernikahan sirri itu terus banyak terjadi di masyarakat. Tidak hanya kalangan bawah akan tetapi juga terjadi di kalangan kelas atas. Baik itu pejabat atau pun para ustadz.

Pernikahan sirri ini sering dilaksanakan ketika seorang lelaki ingin menikah lagi (poligami) dan sang istri pertama tidak menyetujui sehingga melakukan nikah sirri dan istri tidak mengetahuinya. Ada juga lelaki melakukan nikah sirri sebagai istri simpanan yang juga tidak diketahui sang istri. Nikah sirri juga sering dilakukan bagi calon pasangan yang tidak disetujui pernikahannya. Sehingga memilih nikah sirri. Ada juga nikah sirri yang dilakukan para sopir mobil penumpang umum yang setiap hari melaksanakan perjalanan dari satu kota ke kota lainnya. Sehingga memilih menikah lagi di kota tujuan dengan alasan ada tempat tinggal ketika tiba di kota tujuan. Bahkan yang menyedihkan adalah alasan yang diungkapkan adalah alasan seksualitas.

Apabila kita melihat dari sisi dan sudut pandang yang lain, kita akan menemukan begitu banyak mudharatnya pernikahan sirri untuk zaman digital ini. Pernikahan yang dilakukan tanpa dicatat akan berdampak besar pada perempuan. Hak perempuan sering dilangggar, karena biasanya lelaki sering tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami. Bahkan lagi suami bisa saja meninggalkan sang istri kapan dan di mana pun dia mau. Karena pernikahan itu tidak dicatat dan sang istri tidak tau hendak menuntut kemana. Yang jelas istri adalah yang paling banyak menderita dan menjadi korban akibat pernikahan sirri. Di sisi lain yang sangat berdampak negatif adalah pada anak yang lahir nantinya. Anak yang lahir dari nikah sirri tidak bisa dibuatkan akte kelahirannya. Karena sang ayah dan Ibu tidak mempunyai akta nikah dan juga tidak mempunyai Kartu Keluarga. Akta nikah yang didapat saat menikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga untuk membuat Kartu Keluarga tidak bisa dilakukan.

Satu hal yang bisa dilakukan agar akte kelahiran anak bisa diproses adalah sang ibu membuat Kartu Keluarga atas nama sendiri dan memproses akte kelahiran anak bersamanya, dengan nasab anak kepada Ibunya, bukan kepada bapaknya. Jika tidak dilakukan seperti itu anak tidak bisa mengurus segala hal yang berkaitan dengan administrasi yang ada di negara ini. Mulai dari pembuatan NIK hingga administrasi lainnya. Tentunya kita bertanya lagi apakah baik jika nasab anak yang seharusnya kepada bapak akan tetapi di Aktek Kelahiran dan Kartu Keluarga tertera nama ayah adalah nama ibu si anak? Tentunya ini berpengaruh terhadap psikis anak dan menjadi momok negatif bagi si anak. Maka dari itu pernikahan sirri bukanlan suatu jalan yang layak untuk ditempuh bagi laki-laki dan perempuan yang hendak menikah sekalipun secara agama dikatakan sah. Banyak kewajiban yang terlanggar sehingga banyak hak yang tidak diterima oleh pasangan masing-masing dan terutama istri dan anak. Dan menikah dengan dicatat pada lembaga berwenang itu lebih legowo dan lebih ahsan tentunya.



Oleh: Muharrahman
*****

Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian amanat undang-undang perkawinan yang ada di Indonesia. Harapannya suatu pernikahan yang dilangsungkan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Namun demikian, banyak kasus pernikahan tidak sesuai harapan. Berkaitan dengan kasus pernikahan sekarang masyarakat dihebohkan dengan berkembangnya kasus pernikahan sirri perawan yang bisa dibilang sedikit maju. Pernikahan sirri yang dilakoni berbasis online, siapa saja yang ingin menikah sirri bisa singgah di laman website yang telah ditentukan. Tidak hanya sampai di situ, semua perempuan yang hendak nikah sirri tersebut harus perawan, begitu juga lelaki yang hendak nikah sirri tersebut haruslah pejaka. Perawannya perempuan atau pejakanya lelaki harus dibuktikan. Untuk membuktikannya perawan wajib menyertakan surat kedokteran dan lelaki harus melakukan sumpah pocong. Demikianlah yang terjadi dan menjadi viral di medsos sehingga menghebohkan publik. Kasus ini berujung pada pihak yang berwajib.

Bila melirik ke belakang, berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Syiah Kuala yang pernah dipublikasi di media tahun 2016 lalu menyebutkan bahwa terdapat 4.801 kasus permohonan perceraian yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyyah di seluruh Aceh. Pada tahun 2015 angka bertambah menjadi 5.300 kasus. Di hasil penelitian lainnya disebutkan bahwa pada tahun 2016 Mahkamah Syar’iyyah Aceh telah menerima 5.191 laporan perkara perceraian. Ini adalah angka yang pantastis yang apabila kita kaji akan ditemui banyak polemik di dalamnya. Bahkan yang juga menarik untuk dikaji dan dipahami adalah dari semua kasus perceraian tersebut dinyatakan bahwa cerai gugat lebih dominan. Artinya perempuan lebih banyak yang menggugat cerai suaminya dibanding suami yang meminta cerai. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, perceraian yang paling tinggi terjadi bukan saja karena faktor ekonomi atau pun Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Akan tetapi perceraian itu lebih dipicu oleh faktor perselingkuhan.

Kemudian apabila diperhatikan kasus perceraian yang dipublikasi pada laman resmi Mahkamah Syar’iyyah Kota Banda Aceh untuk tahun 2017 hingga periode Agustus, tercatat 188 kasus perceraian dari total kasus yang masuk sebanyak 384 kasus. Ini berarti 49% kasus yang masuk adalah kasus perceraian. Yang menarik untuk diketahui lagi adalah 128 kasus tersebut adalah cerai gugat, sedangkan cerai talak hanya 60 kasus.

Tentunya dari berbagai macam kasus yang terjadi ada problematika yang terjadi dalam banyak keluarga selama ini. Tentunya semua orang tidak ingin itu terjadi, karena perpisahan suami dengan istri akan berdampak negatif. Tidak hanya pada pasangan itu sendiri, akan tetapi pada anak yang lahir dari pasangan tersebut juga sangat berdampak. Agar suatu pernikahan yang dilaksanakan bisa langgeng dan harmonis tentunya ada beberapa hal yang harus dipahami bersama. Dan sebelumnya yang juga harus dipahami bahwa pernikahan itu laksana mendayung sampan di tengah lautan. Perjalanan yang dilalui tentu tidak berjalan mulus, ada arang dan rintangan yang terus menghadapi perjalanan itu. Ada ombak dan badai yang terus menerjangnya. Untuk itu perlu dipersiapkan dan memahami segala hal yang berkaitan dengan rambu-rambu rumah tangga agar kelak setiap pasangan bisa memaknai sebuah pernikahan tersebut.

Pertama; Nikah itu Ibadah

Nikah itu ibadah, maka dilakukan dengan niat yang baik. Bahkan dalam Islam disebutkan bahwa pernikahan itu setengah dari agama. Maka beruntunglah bagi siapa saja yang menikah dengan niat karena Allah dan sunnah Rasulnya. Perjanjian pernikahan itu kuat, mitsaqan ghalidhan, akad yang sangat kuat. Tidak hanya dipersaksikan manusia, akan tetapi juga Malaikat. Akad yang dilangsungkan adalah muabbadan, untuk selama-lamanya. Walaupun pernikahan itu boleh bercerai, namun bila dipahami pada ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan menemui bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya ada prinsip dimana perceraian itu harus diperketat. Jadi setiap orang yang menikah harus memaknai sebagai ibadah kepada Rabbnya agar perjalanan pernikahan kita kekal untuk selama-lamanya.

Kedua; Tujuannya Membentuk Keluarga Harmonis

Islam menjabarkan panjang lebar tetang tujuan dari suatu perkawinan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjabarkannya. Dari sekian banyaknya tujuan tersebut, menjadi keluarga harmonis adalah salah satunya. Perkawinan itu agar pasangan suami istri bisa tenteram, nyaman, saling berkasih sayang diantara kedua pasangan, bukan satu pasangan. Perkawinan dijadikan agar antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) saling mencintai. Al-Quran juga memberi permisalan antara suami dan istri itu bagaikan pakaian. Istri adalah pakaian bagi suami dan sebaliknya suami adalah pakaian bagi istri. Sehingga harus saling menjaga agar pakaian itu tetap rapi, lembut, cantik dan indah di pandangan mata antara keduanya. Bagi suami jadikan istri itu perempuan yang paling cantik sedunia, dan sebaliknya suami itu lelaki paling ganteng sedunia. Bahkan dalam sebuah hadits nabi dalam riwayat Imam Tirmizi disebutkan; “Jika engkau (suami) melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu.”

Ketiga; Ada Kewajiban dan Hak

Kita sering mendengar dalam lingkungan sehari-hari ada banyaknya orang yang menuntut hak. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah melaksanakan kewajiban? Suatu hak akan ada bilamana kewajiban dilaksanakan. Begitu pula dalam berkeluarga, bahwa kewajiban dan hak itu dituntut dan dinikmati secara bersama, saling melengkapi antara pasangan suami istri itu sendiri. Ketika suami melaksanakan kewajiban, maka dengan otomatis sang istri mendapatkan haknya. Sebaliknya bilamana istri melaksanakan kewajibannya, maka dengan otomatis sang suami mendapatkan haknya. Jadi dahulukan kewajiban baru masing-masing pasangan mendapatkan haknya. Tidak sebaliknya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Inilah yang seharusnya dipahami oleh setiap yang melangsungkan pernikahan sehingga bisa memaknai sebuah pernikahan itu seperti yang disunnahkan.

Keempat; Harus Dicatat

Setiap pernikahan yang dilangsungkan wajiblah dicatatkan pada pencatat yang sudah diberi wewenang oleh negara. Di mayoritas negara muslim mewajibkan agar setiap peristiwa pernikahan dicatat. Hal ini sebagai upaya melindungi pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan, terutama bagi perempuan. Pencatatan ini juga sangat dibutuhkan untuk keturunan yang lahir dari pasangan yang melangsungkan pernikahan. Apabila suatu pernikahan tidak dicatatkan, maka anak yang lahir tidak bisa membuat akte kelahirnya. Jika pun bisa maka nasabnya kepada ibunya. Bukankah nasab itu kepada ayahnya? Bagaimana nantinya apabila sang anak mengetahui nasabnya tidak kepada ayahnya? Ini akan menimbulkan psikis negatif terhadap perkembangan anak dan ini harus menjadi perhatian setiap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.