Kamis, 04 Agustus 2016

Oleh: Ibn Bustaman

Sebaik-baik seorang mukmin adalah mereka yang berpegang teguh pada Tali Allah dan sunnah RasulNya. Bukti seseorang itu Islam adalah manakala ia melaksankan rukun Islam dengan baik, dan sebahagian dari rukun Islam itu adalah mendirikan shalat. Dan sebaik-baik waktu shalat adalah di awal waktu. Sebaik-baik tempat dilaksanakannya shalat itu adalah di Masjid. Dan sebaik-baik tata cara pelaksanaannya adalah dilakukan secara berjamaah.

Sebahagian orang, beranggapan bahwa shalat berjamaah hanya sebagai sunnah muakkad saja. Artinya, jika seseorang tidak melaksanakannya tidak menjadi masalah. Padahal jika dilihat diberbagai literature, begitu banyaknya dijelaskan apa itu sunnah muakkad.

Shalat sunnah muakkad adalah shalat sunnah yang dikuatkan, selalu dikerjakan Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Shalat sunnah muakkad sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.


1. Hukum Sahalat Berjamaah

Sebelum kita melihat bagaimana pendapat Imam Asy-Syafi’I memandang hukum shalat berjamaah, terlebih dahulu kita melihat beberapa pendapat ulama besar yang menganut madzhab syafi’i. Imam An-Nawawi, salah satu ulama dalam Madzhab Asy-Syafi’I mengatakan; “Hukum shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, namun bukan syarat sah shalat.” Pendapat ini juga diikuti oleh Abu Bakar Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Mereka merupakan dua ulama besar madzhab syafi’I, yang memeilki kemampuan mendalam dalam bidang fiqh dan hadits.1

Ibnu Hajar berkata; “Hukum Shalat berjamaah adalah fardgu ‘ain, merupakan pendapat sejumlah ulama pakar hadits yang bermadzhab syafi’I, yaitu Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Munzir dan Ibnu Hibban.”2 Selanjutnya, Abu Tsaur berkata; “Shalat berjamaah itu wajib. Tidak boleh seorang pun meninggalkannya kecuali karena uzur yang menghalanginya.”3

Kemudian, Imam Muhammad bin Idris, atau yang dikenal dengan Imam Asy-Syafi’I Rh., sebagai imam Madzhab, juga telah membahas panjang lebar terkait bagaimana status hukum shalat berjama’ah. Bahkan jika kita merujuk pada kitab yang beliau karang, Al Umm pada jilid yang pertama, sangat jelas fatwa beliau terkait shalat berjamaah itu sendiri.

Imam Asy-Syafi’I menyampaikan; “Allah Subhahu wa Ta’ala mewajibkan shalat jum’at, dan Rasulullah SAW mensunnahkan adzan bagi shalat-shalat yang diwajibkan. Kemungkinan diwajibkannya mengerjakan shalat berjamaah pada selain shalat Jum’at adalah sebagaimana diperintahkan mengerjakan shalat Jum’at dan meninggalkan jual beli.”4

Rasulullah SAW telah mengerjakan shalat berjama’ah , baik saat safar (dalam perjalanan) maupun saat muqim (berdomisili), baik dalam kondisi kemanan tidak menentu maupun disaat keadaan terkendali, aman. Demikian dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i. Dan beliau mengutip ayat al Quran berikut ini, Qs. An-Nisa: 102;

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.”

Imam Asy-Syafii menjelaskan; “Rasulullah SAW menyuruh kepada orang yang mengerjakan shalat agar mengerjakannya dalam keadaan tenang, dan beliau memberikan keringanan untuk tidak berjamaah jika ada halangan. Dan kesimpulan yang dapat saya kemukakan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah adalah; tidak halal meninggalkan shalat berjamaah pada setiap pelaksanaan shalat fardhu , sehingga tiada suatu kelompok pun dari orang-orang yang muqim (berdomisili) maupun yang safar (dalam perjalanan) melainkan menegakkannya di antara mereka.”5

Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bawah Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ

Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggamanNya, sungguh aku bermaksud untuk menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian aku perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat, lalu dikumandangkan adzan untuk shalat. Kemudian aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang banyak. Kemudian aku berpaling kepada orang-orang yang terlambat hadir dan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggamanNya, apabila salah seorang dari mereka mengetahui bahwa ia akan memperoleh daging gemuk pada tulang atau daging yang menempel di antara telapak kaki kamping, niscaya ia akan menghadiri shalat Isya.”6

Terkait Hadist di atas, Imam Asy-Syafi’I menyampaikan bahwa; “ Serupa pula apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau berkeinginan untuk membakar rumah-rumah suatu kaum yang meninggalkan shalat Isya karena kemunafikkan.’ Selanjutnya beliau menyampaikan, “Saya tidak memberi keringanan kepada orang-orang yang sanggup melaksanakan shalat berjamaah untuk meninggalkannya, kecuali karena uzur.”7

Imam Asy-Syafi’I lebih lanjut menjelaskan; “Setiap shalat jamaah yang dikerjakan oleh seseorang, baik di rumah atau di masjid kecil atau besar, sedikit jamaah atau banyak, maka hal itu telah memadai.”8


2. Keutamaan Shalat Berjamaah

Imam Asy-Syafi’I berkata; “Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قاَلَ الإمَامُ البُخاَرِي رَحِمَهُ اللهُ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya: “Shalat jamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derjat.”9

Kemudian, Imam Asy-Syafi’i berkata lagi; “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا

Artinya; “Shalat jamaah lebi utama dari shalat sendirian salah seorang diantara kamu dengan dua puluh lima derajat.”10

Selanjutnya, Imam Asy-Syafi'i menyampaikan; “Tiga orang atau lebih, apabila diimami oleh salah seorang dari mereka, maka dianggap telah berjamaah. Saya berharap apabila ada dua orang agar salah satu dari keduanya mengimami yang satunya, dan mereka dianggap telah berjamaah. Saya tidak menyukai seseorang meninggalkan jamaah, meskipun hanya dikerjakan bersama istri, budak, ibu atau sebagian anaknya di rumah, karena sesungguhnya shalat berjamaah adalah apabila orang-orang yang melaksanakan shalat dipimpin oleh seseorang. Apabila seseorang menjadi imam atas seseorang, maka hal itu disebut shalat berjamaah. Setiap kali jumlah jamaah semakin banyak, maka hal itu semakin saya sukai dan lebih memiliki keutamaan, In Syaa Allah.”11

Demikian sekilas fatwa Imam Asy-Syafi'i terkait status hukum shalat berjamaah. semoga kita semua senantiasa mengikuti apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW, sebagai uswah kita dalam menggapai kehidupan yang mulia.

EndNote:
--------------------------------
1. Al Majmu’, Juz 4, Hlm. 75
2. Fathul Bari, Juz 2, Hlm. 126
3. Al-Ausath fi As-Sunan wa Al-Ijma’ wa Al-Ikhtilaf, Juz 4, Hlm. 138
4. Imam Asy-Syafi’i, Al Umm, Jilid I, Hlm. 217
5. Imam Asy-Syafi’i, Al Umm, Jilid I, Hlm. 217
6. HR. An-Nasa’I, Pembahasan tentang Imamah, bagi “Hukuman Bagi yang Meninggalkan Jama’ah”, Juz 2, Jilid 1, Darul Qalam, Beirut, Hlm. 107.
7. Imam Asy-Syafi’i, Al Umm, Jilid I, Hlm. 180. Lihat juga Terj. Al Umm, Jilid 1, Hlm. 218
8. Imam Asy-Syafi’i, Terj. Al Umm, Jilid I, Hlm. 219
9. HR. Bukhari , Pembahasan tentang Shalat, bab “ Keutamaan Shalat Berjamaah” , Juz I, Jilid I, Hlm. 165.
10. HR. An-Nasa’I, Pembahasan tentang Imamah, bab “Keutamaan Jama’ah” Juz I, Jilid I, Hlm. 103. Lihat juga HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650
11. Imam Asy-Syafi’i, Terj. Al Umm, Jilid I, Hlm. 220