Senin, 27 Juni 2016

Sebuah Catatan Singkat Ibnu Bustaman
Banda Aceh, 28 Juni 2016

Aceh sejak dulu, tempo dulu, sangat kental dengan agamanya yang Agung, Islam Rahmatallil’alamin. Aceh menjadi rujukan ke-islam-an dari berbagai seantaro dunia. Hingga satu nama yang tak asing di telinga kita, Serambi Mekah julukannya. Ini adalah hal yang luar biasa. Kita sebagai orang Aceh tentunya sangat berbangga hati mendapat julukan ini.

Aceh sangat banyak mencetak generasi Qurani waktu itu, masyarakatnya yang sangat berbudaya, dan tentunya sangat menghormati antar sesama. Tak hanya buat sesama Muslim, akan tetapi hingga non muslim pun, social budayanya mencerminkan nilai-nilai kesilaman.

Aceh yang bersyariat waktu itu sangat menjaga tata akhlak yang baik, memuliakan tamunya, memuliakan antar sesama, dan ini melekat di hati generasi waktu itu. Aceh juga banyak melahirkan para ulama-ulama yang hebat dan bersyariat.

Namun, sekarang sepertinya telah tiada. Julukan Serambi Mekah itu punah dan sirna. Hanya tinggal sebuah kenangan lama yang terpatri dalam hati kita. Dan tentunya kita berharap julukan itu kembali lagi, tak hanya nama, akan tetapi masyarakatnya tentunya harus memiliki nilai dan budaya kesilaman sesuai syariat yang Allah ajarkan melalui pewaris nabi terakhir, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.

Sekarang, dilemma-dilema itu terus mencuat ke permukaan kita. Di media social, kita melihat begitu banyaknya hal-hal yang tak seharusnya terjadi. Mulai dari kepemimpinan, hingga perkara kecil yang bersifat Khilafiyah menjadi hal yang hangat diperbincangan, dan berakhir dengan perdebatan panjang tanpa solusi. Kita saling bid’ah membid’ahkan, kita saling salah menyalahkan, kita saling bersu’udhan, kita saling menilai dengan kebencian, kita saling tuduh-tuduhan, kita saling fitnah-fitnahan, kita saling mengucilkan. Bahkan kita sampai tahap kafir mengkafirkan. Kenapa semua ini terjadi? Padahal dengan mereka yang non muslim kita sangat menjaga. Kenapa kita sesama muslim berdebat dan bertengkar saudaraku?

Bukankah kita seorang muslim? Yang Allah dan Rasul sudah memberikan garis besar dalam berucap dan berdebat. Kita diajarkan bagaimana berbicara, kita diajarkan bagaimana menghormati orang yang berbeda pemahaman, kita diajarkan bagaimana memilih kata yang baik.

Seorang muslim yang baik, tentunya paham betul dengan hal ini. Ia akan memilih berbicara apabila diperlukan, cukup diam saja jika tak perlu. Ia akan memilih pembicaraan yang baik-baik, atau ia hanya diam saja jika hal itu tak harus dibicarakan.

Seorang muslim yang baik akan menghindari perdebatan, ia akan meilih diam jika hal itu lebih baik. Karena ia tau perdebatan tak berujung, tanpa solusi dan akhirnya membuat saling benci, dan berakhir dengan permusuhan. Apakah ini harapan kita? Tentunya tidak bukan?

Sobat ku karena Allah… Begitu banyak wasiat Rasulullah kepada kita ummatnya. Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar.” Demikian salah satu sabdanya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits No. 4167.

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: Tinggalkanlah mira’ itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” Mira’ itu adalah bermakna jidal, yaitu berdebat karena ragu-ragu dan menentang." Demikian disebutkan oleh Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897.

Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah menyampaikan; Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).”Demikian disebutkan oleh Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565.

Abud Darda radhiyallahu ‘anhu juga menyampaikan; “Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.” Demikian disebutkan oleh Darimi: 299.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa tak luput berwasiat buat kita. Beliau menyampaikan; Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”

Sobat ku karena Allah… begitu indahnya wasiat-wasiat mereka buat kita sebagai ummat Islam. Tidakkah kita mau mengaplikasikan dalam hidup sebagai muslim yang taat? Tentunya kita berharap hidup kita tanpa berdebat. Agar tujuan Islam itu tercapai, BERSATU. Apa gunanya kita beragama Islam yang penganutnya bermiliaran, jika perdebatan terus kita lakukan. Tidakkah kita ingin saling bergandengan tangan, merasakan sejuknya darah saudara kita, merasakan hangatnya genggaman saudara kita, merasakan pelukan saudara yang seiman dengan kita. Sungguh sangat indah bilah harapan ini kita junjung tinggi.

Pada tulisan ini, saya sudahi dengan wasiat Allah kepada kita sebagai Muslim dalam surat Ali Imran: 102-103:

“Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar- benar takwa kepada- Nya; dan janganlah sekali- kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam*. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali( agama )Allah, dan JANGANLAH KAMU BERCERAI-BERAI, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu ( masa Jahiliah ) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang- orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.