Oleh: Muharrahman BS, SHI
Salah satu yang dituntut bagi seorang muslim sebelum melaksanakan shalat adalah berwudhu’. Yang tanpa dilaksanakan yang satu ini shalat seseorang tiada artinya. Seorang muslim wajib mengetahui ilmu tentang bagaimana berwudhu’ yang benar dan apa saja yang berkaitan dengan hal itu. Sehingga amalan shalat yang dilakukan setelahnya tidak sia-sia, dalam arti kata; amal yang dilakukan seseorang sesuai tuntutan syariat.
Adapun hal yang harus diketahui oleh seorang muslim dalam berwudhu’ ini diantaranya tentang rukunya, sunnahnya, serta apa saja yang mebatalkan wudhu’ itu sendiri. Salah satu yang termasuk membatalkan wudhu’ itu sendiri diantaranya adalah menyentuh laki-laki akan seorang perempuan.
Secara umum, para ulama sepakat bahwa menyentuh laki-laki akan seorang perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang suami yang menyentuh istrinya tanpa ada pembatas antara keduanya. Jika dilihat dari perbedaan pandangan ini terjadi akibat perbedaan dalam pentafsiran ayat al-Quran sebagai rujukan awal dalam penetapan hukum serta pandangan kedudukan hadits yang digunakan sebagai dalil hukumnya.
Pada tulisan singkat ini, penulis coba menjelaskan bagaimana pandangan Imam Syafi’i terhadap suami yang menyentuh istrinya dalam keadaan berwudhu serta ulama dalam madzhab Syafi’i.1 Tulisan ini penulis rujuk dari kitab yang dikarang Imam Asy-Syafi’i, yaitu Al-Uum dan kitab-kitab lainnya yang dipegang dalam madzhab Syafi’i. In Syaa Allah dilain kesempatan kita lanjutkan dengan pendapat imam-imam yang laIn berdasarkan dalil-dalil syar’i yang digunakan dalam penetapan hukum ini.
Pendapat Imam Asy-Syafi’I Rh:
Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.2 Berikut teka yang tersebut di dalam kitab al-Umm:
قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءُ.
3
Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut:
4.عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء.
Artinya : “Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)
Terhadap hadist di atas, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadits di atas dengan sanad yang shahih.
5
Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit laki-laki, keduanya wajib berwudhu.6
Imam Syafi’i Rh menyampaikan; Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya bila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhuk kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dijadikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit.7 Namun, Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu.8
Imam Syafi’I melanjutkan; Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu, niscaya hal itu lebih saya sukai.9 Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita, baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.10
Pendapat Ulama Madzhab Asy-Syafi’I Rh:
Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, dalam kitab Al-Bajuri menyebutkan:
)لمس الرجل المرأة الاجنبية( غير المحرم ولو ميتة. والمراد بالرجل والمرأة ذكر وانثى بلغا حد الشهوة عرفا. والمراد بالمحرم من حرم نكاحها لأجل نسب أو رضاع أو مساهرة. وقوله من غير حائل يخرج مالو كان هناك حائل فلا نقض حينئذ.
11
Adapun maksud kalimat di atas adalah; Adapun yang membatalkan wudhu’ yang ke empat adalah menyentuh laki-laki akan perempuan yang ajnabiy (sah nikah), bukan seorang mahram, sekalipun dia adalah mayit. Adapun maksud dari “laki-laki” dan “perempuan” di sini adalah laki-laki atau perempuan yang sudah sampai pada batasan syahwat secara uruf (adat kebiasaan). Sedangkan yang dimaksud dengan “mahram” di sini adalah laki-laki yang haram menikahi perempuan, baik itu karena sepersusuan (radha’ah) atau karena hubungan pernikahan (musaharah). Adapun bersentuhan disini adalah tanpa adanya batasan. Jika seandainya bersentuhan itu terdapat batasan (berlapik), maka tidak membatalkan wudhu’.
Imam an-Nawawi berkata; “Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan merupakan hal yang membatalkan wudhu’ kecuali mahram menurut fatwa yang dhahir. Orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang menyentuh, menurut fatwa yang adhar. Dan tidak membinasakan wudhu’ jika bersentuhan dengan anak kecil, dengan rambut, dengan gigi dan kuku, menurut pendapat yang lebih shahih.”12 Imam Al-Mahalliy dalam mensyarah pernyataan imam An-Nawawi di atas, beliau menyampaikan; Adapun dalil dari apa yang disampaikan Imam An-Nawawi adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu أو لامستم النساء dan makna dari sebab yang membatalkan wudhu’ adalah dengan sebab bersentuhnya kulit laki-laki dengan perempuan. Karena hal tersebut merupakan hadhannah (berpotensi) ke hal kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.13
Sayid Bakar Ibn Sayid Muhammad Syaththan al-Damiyathiyy di dalam kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin Pada Juz 1, memberi batasan bahwa bersentuhan kulit yang mengakibatkan batalnya wudhu’ itu adalah bahwa keadaanya antara laki-laki dengan perempuan, keadaannya dengan orang dewasa, dan bahwa yang bersentuhan itu bukanlah mahram diantara keduanya. Kemudian ia melanjutkan, bahwa keluarlah dari demikian (baca: tidak membatalkan wudhu’) kepada 4 hal: yaitu: 1. Bersentuhan dengan rambut, gigi dan kuku; 2. Bersentuhan antara 2 orang laki-laki atau dua orang perempuan atau 2 orang khuntsa, atau khuntsa dengan laki-laki, atau khuntsa dengan perempuan; 3. Bersentuhan antara anak kecil dengan orang dewasa yang tidak sampai pada batasan syahwat; dan 4. Bersentuhan dengan mahram, sekalipun dalam keadaan ihtimal.14
Dalil Al – Quran
Imam Syafii menyampaikan; “Allah Ta’alai berfirman dalam al-Quran surat Al-Maidah ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”.
Ayat ini bermaksud; Allah Azza Wajalla menyebutkan wudhuk bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (toilet/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.15
Ayat yang sama dengan ayat di atas juga termaktub dalam Qs. An-Nisa pada ayat ke 43, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu shalat pada saat kamu sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali lalu saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau dating dari kakus (toilet) atau menyentuh kamu akan perempuan. Kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’), maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa dilarang shalat dalam keadaan mabuk. Shalat boleh dilaksanakan jika kita sudah mengetahui apa yang kita ucapkan. Ini juga berate dilarang shalat dalam keadaan hialng akal. Hilang akal yang disebabkan mabuk akan membatalkan wudhu’. Hal ini dikarenakan orang mabuk biasanya tidak tahu apakah ia sudah kencing atau sudah buang angin (baca: kentut) dalam mabuknya itu.
Ayat di atas juga memberi makna bahwa dilarang shalat setelah bersetubuh dengan wanita (istri), kecuali jika sudah mandi. Orang yang habis bersetubuh dibolehkan melalui masjid. Seumpama seseorang yang ingin pulang ke rumahnya yang terletak di belakang masjid. Yang tidak boleh adalah shalat dalam masjid dalam keadaan berjunub.
Dari ayat di atas juga melahirkan hukum bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan (musafir) yang tidak mendapat air, maka boleh bertayamum saja sesuai ketentuan yang telah ditentukan dalam fiqh. Begitu juga setelah buang air, besar atau kecil atau sesudah menyentuh wanita batal wudhu’ dan boleh bertayamum jika tidak mendapatkan air.
Jika dirangkumkan dari makna yang tergantung dalam ayat di atas terkait yang mebatalkan wudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Hilang akal
2. Bersetubuh
3. Buang air besar atau kecil
4. Menyentuh wanita.
16
Inilah dalil yang sangat kuat dari al-Quran yang menyatakan bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu’, artinya tidak boleh melaksanakan shalat sebelum seseorang terlebih dahulu berwudhu’.
Di dalam madzhab Syafi’I ada 5 hal yang dapat mebatalkan wudhu’, yaitu:
1. Keluar sesuatu dari salah satu dua jalan, yaitu qubul dan dubur
2. Tidur dalam keadaan tidak tetap
3. Hilang akal karena mabuk, sakit atau gila dan lain-lain
4. Bersentuhan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan, baik itu menyentuh kemaluannya sendiri atau orang lain, laki-laki atau perempuan, masih kecil atau sudah dewasa, baik itu untuk orang hidup atau sudah meninggal.
17
Tafsir Qs. An-Nisa Ayat 43 dan Qs. Al-Maidah Ayat 6
Pada Surat An-Nisa ayat 43 dan surat Al-Maidah ayat 6 di atas terdapat kata اولامستم النسآء yang artinya adalah; atau menyentuh kamu akan perempuan. Arti kalimat لمس menurut bahasa Arab adalah “bersentuh” bukan “bersetubuh” dan juga bukan “cium-ciuman” atau lainnya. Hal ini bisa dilihat diberbagai reference kamus arab.
Di dalam kitab Kamus al-Muhith, yaitu kamus yang dipercayai oleh Ulama-ulama Islam yang dikarang oleh orang Islam. Arti لمس adalah الجس باليدى yaitu menyentuh dengan tangan.18 Hal yang sama artinya terdapat dalam Kamus Al-Mu’atmad pada halaman 784 dan Kamus Munjid pada halaman 784.
Jika kita perhatikan di dalam al-quran juga terdapat kata لمس yang artinya juga menyentuh. Seperti pada surat al-An’am pada ayat 7:
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
Artinya: “Dan andai kata Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat menyentuhnya dengan tangannya, tentulah orang-orang yang ingkar itu akan berkata juga bahwa itu hanyalah sihir yang nyata”.
Pada ayat ini kata لمس juga bermakna “menyentuh”, tidak ada arti yang lain. Hal ini juga tersebut di dalam hadits Nabi SAW., bahwa kata لمس juga berarti “menyentuh”. Seperti tersebut dalam hadits berikut:
.عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullah SAW. melarang jual beli dengan cara “mulamasah” dan “munabadzah”.19 (HR. Bukhari no. 2000 dan Muslim No. 2780)
Adapun maksud jual beli “mulamasah” adalah: Si pembeli berkata; apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu maka terjadilah juabeli.20 Jual beli dengan cara sentuh-menyentuh ini dilarang oleh Nabi. Nyatalah dalam hadits ini bahwa arti لمس ialah menyentuh. Jika kata لمس diartikan dengan “bersetubuh” maka terjadilah ketimpangan kalimat di dalamnya, karena di dalam ayat ini juga disebutkan kalimat جنوبًا yang berarti “bersetubuh”. K.H Siradjuddin Abbas menambahkan; Allah memakai kalimat جنوبًا digunakan untuk “bersetubuh” dan kalimat لمس untuk penggunaan “menyentuh”.21
Dalil Hadits
Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum menyentuh laki-laki akan perempuan ini adalah terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha’ Juz I, pada halaman 65 seperti yang telah disebutkan di atas. Berikut dikutip kembali artinya:
22.عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء.
Artinya: “Mengabarkan kepadaku Yahya, dari Malik, dari ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya Abdullah bin Umar, beliau berkata: Ciuman laki-laki atas istrinya dan menyentuh ia dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”, maka barang siapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka wajib ia berwudhu”. (HR. Imam Malik)
K. H Siradjuddin Abbas dalam bukunya 40 Masalah Agama Jilid 2 pada halaman 170 menyampaikan: Abdullah bin Umar bin Khattab ini adalah seorang sahabat Nabi yang utama yang banyak merawikan hadits dari Nabi. Dari hadist di atas. Beliau menyampaikan bahwa bersentuhan dengan perempuan mewajibkan wudhu’ jika hendak shalat. Dalam hadits itu beliau memberi makna kata لمس adalah bersentuhan.23
Dalil Hadits Yang Berkaitan
Jika dilihat dari hadits yang terdapat dalam kitab hadits, terdapat beberapa hadist lain yang berkaitan dengan permasalahan di atas. Namun pertanyaannya kenapa dalam madzhab Syafi’i tidak dijadikan rujukan dalam penetapan hukum ini? Berikut diakhir tulisan ini disampaikan haditsnya beserta tanggapan ulama dalam madzhab syafi’i berkaitan status haditsnya.
1. Terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
Artinya: “Dari Habib Ibnu Abi Tsabit, dari Urwah dari Sitti ‘Aisyah Rda. Bahwa Nabi Muhammad SAW mencium sebahgaian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudhu lebih dahulu.” (HR. Imam Ahmad)
Hadits Habib bin Abi Tsabit ini adalah hadits dha’if. Adapun yang menyampaikan adalah ulama hadits, seperti Sofyan Tsuri, Yahya bin Sa’id al-Qasim, Abu Bakar an-Naisaburi, Abu Hasan Daruquthni, Abu Bakar al-Baihaqi, dan lain-lain.
Imam Ahmad bin Hanbal yang merawikan hadist ini dan Abu Bakar an-Naisaburi berkata bahwa Habib bin Abi Tsabit telah tersalah dari “cium orang puasa” kepada “cium orang berwudhu’”.24 Imam Abu Daud berkata: Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib bin Abi Tsabit hanya merawikan hadits dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zuber. Urwah al-Muzni seorang tidak dikenal (majhul), bahwa hadits yang shahih dari Sitti ‘Aisyah adalah bahwa Nabi mencium istrinya ketika beliau berpuasa.25 Selanjutnya tersebut dalam kitab Mizanul I’tidal yang dikarang oleh Adz-Dzahabi, bahwa Urwah al-Muzni, guru Habib bin Abi Tsabit adalah seorang Yang tidak dikenal (majhul).26
2. Kemudian terdapat hadits yang diriwayatkan dari Abu Rauq:
Artinya: “Dari Abu Rauq, diambil dari Ibrahim at-Taimi, diambilnya dari Sitti Aisyah Rda. beliau berkata: Bhawasannya Nabi Muhammad SAW adalah mencium (istrinya) sesudah berwudhu’. Kemudian beliau tidak mengulang wudhu’nya lagi.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Rauq, ia adalah orang yang dha’if. Beliau didhaifkan oleh Ibnu Mu’in.27 Dalam hadits ini dikatakan bahwa Ibrahim at-Taimi mengambil hadits dari Ummil Mu’minin Sitti ‘Aisyah. Ini adalah keliru, karena Ibrahim at-Taimi tidak pernah berjumpa dengan Sitti ‘Aisyah. Ia adalah seorang Tabi’ Tabi’in bukan Tabi’in. Jadi hadits ini adalah hadits “mursal, sama derajatnya dengan hadits dha’if, karena ada sanad yang hilang antara Ibrahim at-Taimi dengan Sitti ‘Aisyah. Imam Abu Hatim berkata; Ibrahim at-Taimi banyak mengeluarkan hadits mungkar. Berkata Imam Bukhari; Haditsnya tidak tsabit (tidak tetap). Selanjutnya Imam Daruquthni berkata Ia dha’if.28
3. Selanjutnya terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Artinya: “Dari Abu Qatadah al-Anshari, bahwasannya Rasulullah SAW shalat sedang memikul Umamah binti Zainab binti Rasulullah SAW. Manakala beliau sujud, beliau letakkan anak itu dan manakala beliau berdiri, beliau gendong anak itu.29 ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika dilihat dari hadits ini bahwa Nabi menggendong ana perempuan yaitu Umamah binti Zainab yang waktu itu dia masih kecil. Dan bersentuhan dengan anak kecil memang tidak membatalkan wudhu’. Kemudian anak ini adalah cucu Nabi, karena ibunya Zainab adalah anak Nabi Muhammad SAW. Dan bersentuhan dengan cucu tidak membatalkan wudhu’.
Selanjutnya jika dilihat lagi, menggendong anak kecil belum tentu Nabi bersinggungan dengan kulitnya, dan dimungkinkan anak itu terlapisi dengan kain. Dan bahkan sebahagian ulama ada yang menyatakan hadits ini tidak dipakai lagi, dalam arti sudah mansukh karena bekerja dalam sembahyang.30
4. Kemudian terdapat dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga disebutkan:
Artinya: “Dari Sitti ‘Aisyah Rda. beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku di pihak kiblat. Apabila beliau sujud ia tolak kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali”.31 (HR. Bukhari)
K.H. Siradjuddin Abbas menyampaikan; pada hadits ini terdapat “ihtimal”, yatitu boleh jadi di dalamnya. Boleh jadi Nabi menolak kaki Ummulmu’minin di balik kain atau dibalik kaus kaki, karena kebiasaan wanita Arab memakai celana panjang kalau tidur. Tidak ada dalam hadits ini bahwa antara tangan Nabi dan kulit Sitti ‘Aisyah bersentuhan, yang ada bahwa beliau menolak kakinya.32
Karena hadits ini mengandung “ihtimal”, maka menurut ilmu ushul fiqh tidak bias dijadikan hujjah dalam penetapan hokum. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Imam An-Nawawi:
“Dan menurut fatwa jumhur ulama (ulama-ulama yang banyak dan kenamaan), bahwasannya bersentuhan wanita membinasakan wudgu’. Mereka meletakkan hadits ini, bahwa Nabi Muhammad SAW. menyentuh Sitti ‘Aisyah Rda. dibalik kain, maka hadits ini menjadi tidak membuktikan atas tidak batalnya wudhu’ apabila menyentuh kulit wanita”.33
Di dalam kaedah usuhul fiqh disebutkan:
الدليل اذا طرقة الإحتمال سقط به الإستدلال
Artinya:
“Dalil-dalil yang mengandung “ihtimal” (boleh jadi) maka gugurlah (tidak boleh lagi dipakai) menjadi dalil”
5. Terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Artinya: “Dan Ummulmu’minin Sitti ‘Aisyah Rda. beliau berkata: Saya kehilangan Rasulullah SAW. ketika tidur, maka saya berdiri mencari beliau. Maka jatuhlah tangan saya pada jantung tumit beliau. Ketika beliau selesai shalat lantar berkata; Datang kepadamu syaithanmu.” (HR. Imam Muslim)
Hadits ini sama dengan hadits di atas, yaitu sama-sama mengantung “ihtimal”, tidak nash yang nyata, bahwa Sitti ‘Aisyah langsung menyentuh kulit Nabi. Boleh jadi persentuhan itu terjadi di balik kain atau terdinding oleh kain. Imam An-Nawawi menyampaikan tentang hadits ini sebagai berikut:
“Dan jawaban atas hadits Sitti ‘Aisyah ini, tentang jatuhnya tangan beliau ke tumit Nabi, bahwa hal itu boleh jadi berdinding dengan kain”.34
Demikian hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum menyentuh wanita bagi seorang laki-laki dalam keadaan berwudhu, yang dalam madzhab syafi’i tidak digunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum seorang suami menyentuh istrinya atau sebaliknya. Seperti telah disebutkan di atas, terdapat beberapa faktor sehiingga tidak dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.
Demikian tulisan ini dibuat, hendaknya bermanfaat dan menambah wawasan kita terkait persoalan ini. Dan semoga tulisan ini tidak menjadikan kita berdebat akibat perbedaan pandangan dalam hal ini. In syaa Allah di artikel selanjutnya akan dibahas pandangan madzhab yang lain, terutama madzhab yang empat (Hanafi, Maliki dan Hanbali) terkait persoalan ini secara detail, serta apa dalil yang digunakan dalam penetapan hukumnya.
Akhirnya kepada Allah penulis mohon ampun, kepada saudaraku semua penulis mohon maaf. Semoga kita terus diberi hidayah oleh Nya, dan tentunya diberikan ilmu syariat yang bisa menghantarkan kita kepada Nya. Amin
والله اعلم بالصواب
__________________________________________________________________
Reference:
1. Imam Syafi’i kita ketahui bahwa beliau ini adalah sebagai Imam Mujtahid dan dijuluki Nashirus Sunnah, , yaitu orang yang menolong sunnah. Beliau juga digelar dengan Ahlul Ra’yu dan Hadits, karena bisa menggabungkan antara logika dengan hadits.
2. Lihat Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 25
3. Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i Abu ‘Abdulah, Al-Umm, Juz I, Beirut: Darul Maghrifah, 1393 H, Hal. 15.
4. Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43
5. Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 30-31
6. Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 26. Lihat juga Lihat Tafsir Imam Syafii, Jilid II pada hal. 301
7. Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 26
8. Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14-16
9. Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 26
10. Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 26
11. Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qasim al-Ghaziy, Juz 1 Pada Bab Yang Membatalkan Wudhu, Hal. 69 - 70
12. Lihat dalam kitab Minhajut Thalibin pada bab Asbabul Hadats yang dikarang Imam An-Nawawi.
13. Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Juz. I, Hal. 32.
14. Sayid Bakar Ibn Sayid Muhammad Syaththan al-Damiyathiyy, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, Juz I, 1997, Hal. 79
15. Imam Asy-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Uum, Juz 1, Hal. 26
16. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 2, Cet. 20, Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2006, Hal. 167
17. Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qasim al-Ghaziy, Juz 1 Pada Bab Yang Membatalkan Wudhu, Hal. 71
18. Lihat Kamus Al-Muhith, Juz II, Hal. 249
19. Lihat Syarah Muslim, Juz 10, Hal. 154
20. Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, Juz II, Hal. 150
21. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 2, Cet. 20, Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2006, Hal. 169
22. Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43. Hadits ini adalah hadits mauquf pada Ibnu Uma, sanadnya shahih. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiqnya terhadap sunan at-Tirmidzi. Lihat Tafsir Imam Syafii, Jilid II pada hal. 300. Lihat juga dalam Syifa’ al-‘Iyyi bi Tahqiq Musnad al-Imam Asy-Syafi’iyy, Jilid I, Hal. 101, hadits no. 86
23. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 2, Cet. 20, Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2006, Hal. 170
24. Lihat Kitab Al-Majmu’, Juz II, Hal. 32
25. Lihat Kitab Al-Majmu’, Juz II, Hal. 32
26. Lihat Adz-Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz III, Hal. 65
27. Lihat Kitab Al-Majmu’, Juz II, Hal. 33
28. Lihat Mizanul I’tidal, Juz I, Hal. 55
29. Lihat Fathul Bari Juz II, Hal 137
30. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 2, Cet. 20, Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2006, Hal. 173
31. Imam Bukhari, Fathul Bari, Juz II, Hal. 135
32. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 2, Cet. 20, Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2006, Hal. 174
33. Lihat Syarah Muslim, Juz IV, Hal. 229-230
34. Lihat Syarah Muslim, Juz II, Hal. 33